MediaKepriNews.Com- Praktisi Hukum Maruli Silaban SH dari Kabupaten Pelalawan Riau memberi respon terkait putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024. Putusan penundaan Pemilu 2024 oleh PN Jakarta Pusat dinilai menimbulkan dilema putusan hakim telah memutus perkara yang sepatutnya bukan pada tempatnya. Ini dinilai melampaui yurisdiksi Pengadilan Negeri.
Menurut Maruli Silaban, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dam Pasal 11 telah diatur yurisdiksi pengadilan negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH).
Jika ada pihak yang mengajukan perkara PMH ke Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri bakal melimpahkannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena bukan yurisdiksinya. “Jika pun Pengadilan Negeri sudah menjalankan perkara tersebut karena luput, khilaf, misalnya, maka harus diputus tidak dapat diterima,” ujar Maruli Silaban yang juga anggota PERADI.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024 saat ini jadi dilema. Dianggap langgar konstitusi, telah melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan adanya UUD ini, maka vonis Pengadilan cacat karena melanggar konstitusi.
Gugatan yang diajukan Partai Prima ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai gagalnya partai tersebut dalam proses verifikasi oleh KPU.
Namun, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024.
“Kalau memang masalahnya soal verifikasi administrasi, kalau itu masalah keperdataannya perbaiki saja itu oleh putusan peradilan. Tapi, kok tiba-tiba meloncat ke masalah hukum publik, yaitu masalah tahapan penyelenggaraan pemilu jadi dari hukum privat perdata ke hukum publik, apa ini tak jadi dilema?” kata Maruli.
PN Jakarta Pusat Perintahkan Tunda Pemilu 2024. Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Prima dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum.
“Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari,” seperti dikutip dari salinan putusan, Kamis, 2 Maret 2023.
Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim pada Kamis, 2 Maret 2023. Adapun Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan gugatan tersebut adalah T Oyong, dengan hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah KPU menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu.
Atas keputusan itu, Partai Prima mengajukan gugatan secara perdata ke PN Jakarta Pusat pada Desember 2022. Dan hasilnya, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan tersebut dengan memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024.
Selain penundaan, pengadilan juga menghukum KPU membayar ganti rugi materiil sebanyak Rp 500 juta. Pengadilan juga menyatakan bahwa penggugat, yakni Partai Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi .
Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sanksi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana.
Pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketa sedangkan dalam Hukum Acara Pidana umumnya hukumannya penjara dan atau denda.
Terhadap Putusan Hakim PN Jakarta Pusat tentang Gugatan Perdata oleh Partai Prima, dikategorikan melanggar Konstitusi Negara, karena Norma Konstitusi mengamanatkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali, dan kemudian terkait dengan permasalahan yang dihadapi oleh Partai Prima adalah terkait dengan UU Pemilu No 07/2017 yaitu tidak lolos verifikasi administrasi/faktual dalam proses seleksi menuju Partai Politik peserta pemilu, permasalahan yang diputus oleh peradilan Perdata Jakarta Pusat adalah menyangkut privat alias antara satu atau lebih penggugat dengan orang lain atau badan hukum yang digugat.
Mestinya Partai Prima masuk Gugatannya di Bawaslu atau di Pengadilan TUN terkait dengan permasalahan Administrasi. Bila terkait dengan sengketa hasil pemilu masuk permohonan di Mahkamah Konstitusi. Bila terkait dengan Kode Etik penyelenggara pemilu melaporkan di DKPP. Jadi urusan Partai Prima tidak ada urusan secara Persada, sebab argumen Partai Prima adalah bahwa ada Perbuatan Melawan Hukum oleh KPU, mestinya bila ada perbuatan melawan hukum oleh pejabat negara yang sifatnya Keputusan mestinya ranah Peradilan TUN bukan malah di Peradilan Negeri.
Yang dimohonkan oleh Partai Prima adalah ganti rugi materil dan immateril dengan menunda pemilu. Padahal dalam perkara perdata dampak hukumnya hanya bisa dirasakan oleh dua pihak yaitu penggugat dan tergugat bukan untuk umum. Inilah yang membuat para ahli hukum, praktisi hukum dan pengamat hukum perlu menjelaskan secara baik kepada masyarakat atas putusan PN Jakarta Pusat tersebut agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum. Lis